PART 1
Arah jarum pada jam dinding sudah menunjukan lima sore, dimana
waktu datang dan menandakan semua perkerja harus meninggalkan Kantor. Alyona
bersiap untuk meninggalkan kantor, ia merapikan semua
berkas-berkas yang sudah lama ia tinggalkan untuk diberikan
kepada Bos-nya.
“
Dew, aku duluan ya! Mau cepat-cepat
pulang. Aku mau ngasih berkas ini dulu sama Pa Tio,,” ujar Alyona sambil menarik tas yang Ia
gendongkan di belakang tubuhnya.
“ Iya, tapi kayanya di luar gerimis deh. Masih mau pulang?” tanya Dewi yang melihat rintikan gerimis di kaca kantornya yang sangat
jelas untuk melihat kearah luar.
“ Maka dari itu aku mau cepet-cepet ke halte,
jadi aku nuggunya di halte aja! Ga ada masalahkan?” jawab Alyona yang kesal melihat Dewi; yang selalu menganggapnya
seperti orang yang snagat membutuhkan perhatian.
“ Yaudah deh terserah, gue ga bareng lu dulu ya! Kerjaannya masih tanggung, sebentar lagi selesai” ujar Dewi yang
tidak enak melihat wajah kesal Alyona.
Alyona pun bergegas memberikan tumpukan berkas-berkas miliknya ke
ruang-Atasannya. Setelah Alyona selesai memberikan semua berkasnya, Alyona langsung pergi ke dalam lift untuk turun ke lantai bawah.
“ Halo Pa Satpam aku pulang dulu ya!” sapa Alyona.
“
Iya mba Alyona, hati-hati ya! Gerimisnya sudah mulai
besar!” jawab satpam kantor yang menunjukan tangannya
kearah langit.
“ Iya
Pak! Makasih ya!”. Jawab Alyona yang berusaha berlari
kencang untuk menghindari gerimis yang semakin besar.
Halte sudah sangat ramai saat Alyona datang. Semua orang
berdatangan untuk berteduh dari hujan deras. Sepertinya Alyona terlambat untuk
mengejar taxi, karena hujan telah terlebih dahulu datang. Alyona tidak
mempunyai persiapan sebuah payung untuk melindungi dirinya dari hujan.
“Terpaksa harus nunggu!” gerutu Alyona dalam hati.
Hati Alyona tiba-tiba berdekup sangat kencang saat ada seseorang
yang menepuknya dari belakang. Alyonapun segera menoleh dan mendapati
temannya, Dewi yang sedang berada di belakangnya.
“ Belum pulang? Dari tadi, lu masih nunggu di sini? Kasihan, hehehe..”. suara Dewi cukup membuat Alyona malu, karena sebagian orang yang ada di
halte memandang dirinya.
“ Kamu apaan sih! aku masih nunggu taxi. Ngagetin aja!” jawab Alyona dengan suara ketus.
“ Kasihan, temen gue.Cup,,cup,,” ujar Dewi yang mencoba melingkarkan tangannya
dileher Alyona.
“ Kenapa lu ga minta di jemput sama mamah?” tanya Dewi sambil melipat payung yang dimilikinya. Alyonapun menggelengkan kepalanya, seraya memberika isyarat kepada Dewi.
“ Kenapa? Lagi ga ada di rumah?”. Pertanya yang
diberikan Dewi membuat Alyona kembali menggelengkan
kepalanya.
“ Kasihan sama mamah! Lagi hujan gini suruh ngendarai mobil,,!” jawabnya.
“ Tapi dari pada lu yang kehujanan trus sakit?” ujar Dewi. Lagi-Alyona kembali menggelengkan kepalanya.
“ Coba Evan masih hidup, pasti dia ga tega biarin aku nunggu di sini dalam
hujan deras” tukas Alyona
dengan nada kepiluan di dalam hatinya.
“ Udah dong, Alyona! Evan itu udah pergi, dan dia gak akan pernah kembali lagi! Lu itu
harus kembali dalam hidup lu yang nyata! Jangan terpuruk sama masa lalu! Dan
lupain Evan!Ok” Suara teriakan
Dewi membuat perhatian orang-orang yang ada di halte tertuju kembali ke arah Alyona dan Dewi. Sekarang, bukan hanya setengah orang dihalte. Tapi, semuanya.
“ Hah? lupain?” ujar Alyona dengan nada sepelan mungkin,
agar tidak mengundang pandangan orang-orang disekitarnya. “ Kamu bilang aku harus ngelupain bahwa Evan yang
pernah hidup dan hampir menjadi bagian dari diriku itu harus di lupain? ” lanjut Alyona dengan
nada tertekan dan tatapan lekat-lekat ke
arah wajah Dewi. Emosi dan perasaan sedih yang menguasai hati Alyona, membuat nada bicaranya sedikit meninggi.
Dewipun menarik Alyona kebelakang dan memberikannya penjelasan. “ Iya! Lu harus ngelupain Evan. Karena dia itu, MASA LALU!” jawab Dewi yang menekankan perkataannya. Ia berusaha
meyakinkan Alyona bahwa Evan, seorang kekasih Alyona yang sudah meninggal adalah sebuah masa lalu untuk Alyona.
“ Tapi masa lalu aku beda! Gimanapun
caranya aku mau ngelupain Evan, itu sangat susah. Bayangan Evan selalu muncul
dalam benakku. Kamu gampang untuk mengatakan hal itu, karena kamu ga pernah
merasakan kehilangan orang yang kamu sayang!” emosi
Alyona semakin memuncak saat Ia mendengar perkataan Dewi. Tetapi Ia berusaha membuat suaranya agar tetap pelan supaya tidak ada yang
memandangnya.
Dewipun menjatuhkan tangannya di kedua pundak Alyona dan menatap matanya
dengan tajam. “ Alyona, kalau lu selalu
seperti ini. Kemungkinan Evan ga akan pernah tersenyum. Dia ga akan pernah tenang. Kita semua merasa kehilangan Evan, Alyona. Jangan selalu merasa bahwa hanya lu yang mempunyai rasa kehilangan itu.
lu salah!” suara Dewipun ikut mengecil saat
melihat mata Alyona yang berkaca-kaca.
“
Maafin aku kalau aku belum bisa menerima kematian Evan. Tapi perasaan ini semakin
sakit,Dew” kantung mata Alyona sudah penuh dengan air matanya,
mengingat Evan adalah salah satu hal yang tidak bisa Alyona hindari. Ingatan
Evan seperti suatu ombak yang selalu mengejar Alyona. Semakin ia berlari dari
ombak itu, semakin sulit untuk Alyona menghindar. Ombak itu seakan-akan telah
menyeret Alyona dan menghempaskannya ke karang.
“ Saat aku mencoba untuk melupakannya, hanya
kesulitan yang kurasakan. Aku juga ga tahu harus berbuat apa lagi. Ini semua menarikku
untuk tidak akan pernah melupakan Evan. Aku ga akan bisa, Dew. Jadi,
aku mohon kamu ga usah menyuruhku untuk melupakan Evan! Ga
ada orang yang mengerti!” linangan air mata Alyona sudah tak terbendungi, mengisyaratkan bagaimana kesakitan yang Ia rasakan selama ini. Bagaimana kesakitan hati yang selama ini ditumpunya. Menyadari bahwa semua orang memandang mereka, Alyona
memutuskan untuk menembus derasnya hujan. Ia tidak peduli dengan panggilan Dewi, teriakan Dewi, atau semua mata yang melihatnya menangis. Akhinya, Semua perasaan kecewa yang selama ini berusaha dipendam Alyona tercurahkan semua pada pertengkarannya dengan Dewi.
“ Lu salah sama semua ini Alyona. Kita semua selalu berusaha untuk
melupakan Evan. Termasuk gue,,” Ucap suara hati Dewi, yang seakan-akan ingin
mencoba mengalahkan suara derasnya hujan.
*********
“ Alyona sayang, kamu kenapa basah gini!” Ujar Ibu Dahlia yang melihat Alyona datang dengan baju basah. Pertanyaan itu hanya menjadi angin lalu bagi Alyona. Ia hanya diam dan berlari sambil menangis ke dalam kamarnya. Kekhawatiranpun
muncul dari hati Ibu Dahlia sebagai Mamahnya. Ibu Dahlia mencoba menghampiri
Alyona sebelum akhirnya pintunya tertutup rapat.
“ Mamah, Yona baik-baik aja. Mamah ga usah khawatir sama Yona. Yona akan berusaha
untuk menjaga diri Yona sendiri. Tanpa Evan!” ujar Alyona dari dalam kamarnya.
Ibu Dahlia sudah mengetahui, pasti ini semua karena ingatan Alyona kepada
Evan kembali lagi. Tidak ada yang bisa mencegah Alyona saat perasaan kehilangan
Evan itu kembali, terutama orang tuanya sendiri. Ibu Dahlia hanya bisa berdoa kepada Tuhan. Mekipun sudah lewat dari satu tahun atas meninggalnya Evan, Alyona tetap
tidak bisa melupakannya.
Alyona selalu berusaha untuk melupakan Evan. Meskipun hanya rasa sakit yang
di rasakan Alyona setiap ia berusaha untuk melupakan Evan. Bayangan itu sangat jelas di pikiran Alyona. Saat kecelakan mobil yang menimpa Evan pada hari pernikahannya. Berita yang
tiba-tiba datang dari Rumah Sakit dan menghancurkan semua keadaan, memecahkan
rasa kebahagian dan menghilangkan tawa dan senyum pada setiap orang yang datang
di pernikahan Alyona saat itu. Pihak Rumah Sakit mengatakan bahwa terjadi
tabrakan mobil yang menimpa Evan. Alyona dan seluruh keluarga sangat khawatir.
Setelah mendengar kabar itu, mereka semua langsung
berangkat ke Rumah Sakit. Saat Alyona dan semua keluarga, termasuk Dewi sudah sampai di Rumah Sakit,
mereka melihat Evan yang terbaring lemas dengan banyak darah pada sekujur Jas
yang di pakai Evan saat itu. Mereka semua menunggu dokter yang menangani Evan saat
itu. Sampai akhirnya Alyona memaksa untuk bertemu Evan. Yang di inginkan Alyona
saat itu hanya berada disamping Evan dan memeluknya. Alyona tidak kuat melihat keadaan Evan saat itu, Ia hanya bisa
memeluk erat tubuh Evan dan mendengar
kata-kata terakhir Evan. Evan meminta maaf kepada Alyona karena Ia tidak bisa
ikut melanjutkan pernikahannya, melanjutkan janji yang dibuat mereka berdua. Alyona yang mendengar perkataan itu semua, berusaha meyakinkan bahwa Evan akan selamat dan mereka berdua akan
melanjutkan pernikahan yang tertunda ini. Bayang-bayang senyuman Evan yang
terakhir selalu terbayang dalam benak Alyona. Itu adalah senyuman terakhir Evan
yang di berikannya kepada Alyona.
Hari dimana akan berawalnya harapan sepasang kekasih untuk berjalan ke
pelataran telah pupus. Cinta yang sudah di tanam sekian lama oleh mereka berdua
hancur karena kematian salah satu jiwa yang mengharuskan mereka untuk berpisah selamanya.
********
“ Abanggggggggggggg,,,,!!!!!!!!!” Teriakan
Anisa memecahkan kesunyian pagi hari yang masih sempurna dari alam. Membangunkan para burung yang sedang tertidur pulas disarangnya. Membuat
getaran yang dirasakan matahari untuk memancarkan sinarnya ke Bumi lebih panas.
“ Iyaaaaaaaa….! gue udah bangun! Emag kena ga berangkat sendiri sih!” jawab Revan dari dalam selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
“ Motor Anisa dipake sama Ayah. Abang, anterin gue dong!” ujar Anisa sambil berusaha menarik selimut yang
menutupi Revan dan memukuli tubuh Revan dengan bantal.
“ Bang! kalau ga mau nganterin Anisa, Abang ijinkan Anisa bawa mobilnya
Abang ya! boleh ya! ya!” rayu Anisa yang berusaha mencari kunci mobil
pada saku celana Revan.
“ Suruh Ayah aja yang nganterin emang kenapa? Ga bisa ngeliat orang tenang
sedikit ya!” protes Revan.
“ Yaudah Anisa bawa mobilnya ya!” ujar Anisa yang memperlihatkan kunci
mobil yang di dapatnya.
Sentak Revanpun langsung bangun dari tidurnya dan merampas kunci yang di
pegang Anisa “ Enak aja kamu! mending
gue nganterin lu dari pada ngeliat mobil gue akan ancur gara-gara lu ! yaudah
ayo!”
Revanpun akhirnya beranjak dari tempat tidurnya, dan meminta Anisa untuk
membereskan tempat tidurnya selagi dia pergi ke kamar mandi.
***********
Saat di perjalanan
berangkat kerja, Alyona terus memikirkan harapan dan kemungkinan mengenai
segalanya tentang Evan. Alyona sangat berharap jika ternyata Evan hidup kembali untuk Alyona.
Dengan begitu, Alyona akan memanfaatkan sisa hidup mereka berdua dengan membangun sebuah bahtera pernikahan. Senyuman Alyona tidak lepas dari bibir tipisnya.bayangan
itu membuat Alyona lupa dnegna sesgala yang ada di sekitarnya. “ Aku akan mengabiskan sisa waktu yang di miliki kita untuk selamanya, Evan” ujar Alyona. Dengan pikiran kosong Alyona menelusuri jalanan yang akan Ia sebrangi,
sampai akhirnya Ia tidak menyadari bahwa ada mobil yang melaju ke arahnya. Suara keras klakson dan rasa shock Alyona hampir membuatnya terluka parah. Akhirnya, Alyona segera di masukan ke dalam mobil dan di bawa ke Rumah
Sakit terdekat dengan daerah sekitar.
“ De’ kamu berangkat naik taksi aja yah! Ga usah ikut ke Rumah sakit, nanti
kamu telat” ujar laki-laki itu, sambil mengeluarkan beberapa uang didompetnya.
**********
Ibu Dahlia dan Pa Ramlan, ayah Alyona sangat khawatir
menerima telphone dari seorang lelaki yang mengatakan bahwa Alyona sedang
berada di Rumah Sakit. Ia langsung bergegas ke Rumah Sakit dan melihat Alyona
sedang terbaring pingsan dengan perban yang terpasang di kepalanya. Mereka berdua
belum bertemu dengan orang yang menabrak Alyona. Setelah mengetahui bahwa Alyona mengalami kecelakaan,
Ibu Dahlia langsung mengabarkan Dewi dan memberitahukan keadaan Alyona. Dewi
yang mendengar sangat khawatir. Ia memutuskan akan mengunjungi Alyona setelah
semua pekerjaannya selesai. Karena keadaan Alyona sudah terkendalikan, Pa Ramlan memutuskan untuk pergi dan meninggalkan Ibu Dahlia di rumah sakit. Sebuah panggilan membuatnya harus segera berangkat ke kantornya. Setelah
beberapa saat dari kepergian Pa Ramlan, Akhirnya
Alyonapun bangun dan tidak menyadari akan apa yang baru saja terjadi padanya.
“
Mah! Yona ada di mana?” ujar Alyona yang berusaha bangun dari tidurnya.
Mendengar
suara Alyona, Ibu Dahlia segera memeluk anak tercintanya “ Sayang,, Alhamdullilah
akhirnya kamu sadar juga. Pantesan perasaan Mamah ada yang ga enak. Ternyata
kamu,,” kata-kata Ibu Dahlia tidak sanggup lagi di teruskan karena melihat
keadaan Alyona. Saat Ibu Dahlia memeluk Alyona, suara
rintihan kesakitan terdengar dari Alyona. kekhawatir Ibu
Dahlia semakin bertambah setelah melihat Alyona yang berteriak kesakitan dan memegangi kepalanya. Ia berteriak
histeris sehingga Ibu Dahlia tidak kuat untuk menahan amukan Alyona. Impusan
yang dipasang ditangan Alyonapun terjatuh. Ibu Dahliapun bergegas berlari
meniggalkan Alyona dan memanggil suster. Suara teriakan Alyona masih terdengar
saat Ibu Dahlia berlari keluar.
“
Aduh,,kepala Yona pusing banget , ahhhh…sakit mahhh,
kepala Yona sakit banget,, ahhhh” sambil
memegangi kepalanya, Alyona histeris dan berteriak kesakitan.
Dokterpun datang
untuk memeriksa keadaan Alyona. Menyuntikan sesuatu ditangan Alyona dan memeriksa detak jantungnya. Melihat
luka yang terdapat pada kepalanya, unutk memastikan bahwa tidak ada sesuatu
yang bertambah parah pada lukanya. Setelah dokter
selesai memeriksa keadaan Alyona, Dokter langsung mengajak Ibu Dahlia untuk ke
ruangannya dan memberitahukan apa yang terjadi pada Alyona.
“ Gimana
Dok, keadaan anak saya? mengapa dia tiba-tiba sangat histeris seperi itu?” tanya Ibu Dahlia
yang sangat khawatir. Raut kekhawatiran pada wajah Ibu Dahlia tidak
bisa di tutupi.
“ Ibu
tenang saja, luka pada kepala pasien tidak bertambah parah. Sebenarya
benturan yang ada di kepala Alyona itu tidak
terlalu berpengaruh terhadap histerisnya, tapi,,” kata-katanya terhentikan. Wajah Dokter yang
sebelumnya berhadapan dengan Ibu Dahlia berpaling dari pandangannya.
“ Tapi apa dok?” tanya Ibu Dahlia
kembali.
Mendengar pertanyaan khawatir dari Ibu Dahlia, dokterpun melanjutkan
pembicaraannya.
“ Di lihat dari riwayat kesehatan anak Ibu, sepertinya Ia pernah mengalami
gangguan mental? Bukan begitu?”
Ibu Dahlia yang mendengar pendapat dokter sangat kaget. “ Hah? Maksud Dokter apa?” tanya Ibu Dahlia dengan nada
yang tidak senang.
“ Maaf sebelumnya, Ibu jangan salah sangaka. Saya tidak bermaksud
menganggap anak Ibu Gila atau semacamnya. Hal yang saya ingin tanyakan, Apakah anak Ibu pernah mengalami gonjangan jiwa akhir-akhir ini? Atau
mungkin anak Ibu sedang mempunyai masalah besar yang sedang di tanggungnya?” ujar Dokter. Mendengar pertanyaan itu, Ibu Dahlia
dengan ragu menjawab dan memberitahukan kepada dokter apa yang
terjadi kepada Alyona.
“
Iya Dok. Anak saya mengalami masalah besar satu tahu yang lalu. Itu membuat dia
harus menjalani terapy untuk beberapa bulan. Ia sangat tergoncang saat itu,
sampai-sampai Ia pernah di vonis gila oleh beberapa psikiater. Tapi, perlahan Alyona kembali seperti biasa” jelas Ibu Dahlia.
“
Itu masalahnya Bu. Sepertinya anak Ibu harus lebih di perhatikan dan di jaga. Karena
jika Ibu lengah sedikit, kejadian yang lebih parah dari ini bisa menimpanya” ujar dokter.
“ Mungkin, dari luar anak Ibu kembali seperti biasa. Tapi, dari dalam
dirinya, mungkin saja Ia sedang menanggung beban lebih berat. Mungkin saja, karena
Ia melihat Ibu atau orang-orang di sekitarnya sangat khawatir, jadi Ia
memutuskan untuk perlahan kembali seperti biasa dan menganggap masalah yang
dihadapinya tidak ada. Padahal, tanpa Ia sadari, Ia sedang menanggung lebih
dari apa yang dia tanggung sebelumnya. Dan itu membuat tekanan pada jiwanya.
Problem ini sering terjadi pada pasien seperti Alyona. Mereka berusaha melawan
rasa depresinya, sehinga itu membuat tekanan lebih pada tubuhnya sehingga
membuatnya drop. Itu yang membuat anak Ibu histeris dan merasakan sakit pada
kepalanya. Ini sangat bahaya untuk kondisi Alyona, Bu” jelas dokter.
“
Iya Dok. Saya selalu memperhatikan dia. Setelah kejadian itu, sifatnya sangat
berubah. Ia jadi lebih menutup diri dan menghindar dari perhatian saya. Seakan-akan dia sedang berusaha menutupi perasaannya. Saya selalu memaksa
dia untuk melanpiaskan perasaannya dengan menceritakan semuanya kepada saya.
Tapi dia ga mau. Tolong anak saya, Dok! Saya ga mau kehilangan dia. Saya akan
melakukan apapun untuk kesembuhan anak saya. Saya ga kuat jika melihat
keadaanya semakin parah di depan mata saya. Apa yang harus saya lakukan, Dok?” emosi Ibu Dahlia tiba-tiba tidak tertahankan.
“
Baiklah Bu! Sekali lagi, saya hanya meminta tolong untuk Ibu menjaga dan
mengawasi anak Ibu. Saya takut akan hilang control sehingga menyebabkan
kejadian yang lebih berbahaya dari ini. Saya akan memberikan Ibu kartu nama
seorang psikiater. Ibu bisa mencobanya jika keadaan anak Ibu tidak ada
perubahan. Ibu bisa coba, karena Psikiater ini
masih berhubungan dengan Rumah Sakit. Untuk sementara, saya akan memberikan
tambahan obat penenang pada anak ibu. Untuk mencegah kejadian seperti tadi” jelas Dokter kepada Ibu Dahlia. Setelah menerima kartu nama, Ibu
Dahlia memutuskan unutk berpamitan unutk melihat keadaan Alyona.
“ Boleh
dok, saya akan mencobanya untuk anak saya! terima kasih ya dok! Selamat siang”
”Sama-sama,Bu!
Semoga anak Ibu cepat sembuh!” ujar Dokter
sambil menjabat tangan dengan Ibu Dahlia.
************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar